Rabu, 20 Agustus 2014

Melakukan Negosiasi

Dalam usaha menjalin relasi, menjaga relasi, maupun memperbaiki relasi kerap kali terjadi apa yang disebut "negosiasi", antara kedua belah pihak untuk mencapai suatu kesepakatan tertentu. Negosiasi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) yang lain.

A. Apa itu negosiasi bisnis?
Negosiasi bisnis adalah pertemuan antara dua orang atau dua kelompok pengusaha untuk melakukan serangkaian tawar-menawar yang berkesinambungan mengenai suatu subjek niaga tertentu, yang bertujuan untuk mencapai suatu perjanjian atau kontrak dagang.

Setiap negosiasibertujuan untuk mencapai sebuah kesepakatan atau perjanjian dengan syarat-syarat yang secara optimal memuaskan kedua belah pihak.

Dalam sebuah negosiasi, bisa saja dihasilkan suatu kontrak atau perjanjian diantara kedua belah pihak. Akan tetapi, tidak jarang juga terjadi kemacetan atau deadlock, di mana hasil yang didapatkan dari negosiasi kurang memuaskan salah satu pihak.

Lalu, apa yang sebenarnya yang menjadi "subjek" dari negosiasi bisnis? Subjek negosiasi bisnis biasanya mengenai mutu/kualitas barang, harga, syarat pembayaran, tempat penyerahan, waktu penyerahan, sertifikasi mutu, garansi, perawatan purna jual, sanksi-sanksi (penalty clause), pembagian tugas dan kewajiban masing-masing pihak, dan lain-lain.

B. Syarat seorang negosiator
  1. Comrades (sikap bersahabat)
Seorang perunding yang baik tidak memiliki rasa lebih "tinggi" atau "unggul" (superioroty complex) dari lawan berundingnya, dan juga sebaliknya tidak boleh terlalu merasa lebih "rendah" atau "rendah diri" (inferiority complex). Sikap paling baik yang bisa dilakukan sebagai perunding yang baik adalah menganggap lawan berunding sebagai mitra atau partner yang setaraf, sehingga pembicaraan yang terjadi nantinya merupakan pembicaraan yang seimbang.

  2.Clear In Mind (berpikir jernih)
Seorang perunding yang baik lebih mengutamakan keuntungan jangka panjang (long terms advantages) dan kepentingan yang luas. Didukung dengan wawasannya yang lauas, alur pemikiran yang sistematis, dan pikiran yang jernih tanpa syak wasangka, seorang perunding diharapkan bisa menghasilkan perundingan yang memuaskan. Dengan penuh perhitungan, ia harus memainkan taktik "mengalah untuk menang" atau taktik "mundur selangkah untuk maju seribu langkah".

  3. Clean in words (halus dalam bertutur kata)
Pilihlah kata-kata yang jelas dan tegas, sehingga terhindar dari salah pengertian. Sampaikan pembicaraan dengan tata krama yang halus, dan hindari kata-kata bermakna ganda (ambivalens), kata-kata sinis apalagi kasar.

  4. Conpromizer (seorang yang siap untuk berkompromi)
Seorang perunding yang baik adalah orang yang cerdik dan bijaksana yang mampu mengalah tanpa merasa kalah, dan mampu menang tanpa perlu menepuk dada. Seharusnya, negotiator tidak berwatak otoriter atau diktator yang suka memaksakan kehendak pada pihak lain. Dia harus bisa menyambut uluran tangan dengan penuh pengertian dan memberikan konsesi tanpa merasa kehilangan (takes and gives).

  5. Collaborator (siap membuat konsep bersama)
Perunding yang baik adalah orang yang bisa menerima keadaan di mana setengah gelas kopi yang dimilikinya dicampur dengan setengah gelas susu yang di tawarkan mitra perundingnya. Ia bisa menerima sebagian usul atau saran dari pihak lawannya sebagai imbalan dari penerimaan pihak lawan terhadap usulnya, sehingga tercipta konsep bersama (mixed concept)

  6. Calmness (berwatak tenang)
Para perunding adalah seorang ahli strategi ahli siasat dan diplomat yang dapat menyembunyikan perasaannya dengan baik sehingga taktik dan strateginya tidak mudah ditebak atau diperhitungkan oleh pihak lawan. Ia harus bermental baja, yang masih bisa berpikir tenang meski di bawah tekanan intimidasi, bahkan di bawah dentuman peluru/todongan senjata. Ia pun harus mampu bertahan di bawah pengaruh bujuk rayu dan umpan-umpan yang memabukkan.

  7. Capable (handal)
Perunding haruslah handal dalam bidangnya. Ia menguasai medan dan materi perundingan dan harus lincah dan tanggap menangkis setiap masalah yang bisa merugikan pihak yang diwakilinya.

  8. Contactual Conclusion perumus yang baik)
Pada akhir perundingan, rumusan kontrak perjanjian harus jelas, tegas, dan tepat. Karena itu, seorang perunding juga harus memiliki kemampuan berbahasa tulis yang baik, sekaligus betindak sebagai redaktur yang merumuskan perjanjian, sehingga memuaskan kedua belah pihak.

C. Negosiasi yang sukses
Negosiasi yang sukses adalah bila pascanegosiasi terdapat sebuah hasil berupa persetujuan atau kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak. Untuk mencapai kesepakan tersebut, kedua belah pihak harus memiliki syarat-syarat berikut:

1. Common Interest (kepentingan bersama)
Negosiasi akan berjalan lancar bila kedua belah pihak mempunyai kepentingan bersama atas subjek yang di negosiasikan. Adanya kepentingan atau interest bersama tersebut mendukung terciptanya momen negosiasi menjadi lebih lancar dan sukses.

2. Common Will (keinginan bersama)
Adanya unsur keinginan bersama akan mendorong kedua belah pihak yang melakukan perundingan (berkeinginan) untuk menyikseskan negosiasi.

3. Good faith (itikad baik)
Masing-masing pihak yang berunding harus mempunyai itikad baik untuk mencapai kesepakatan bersama. Jika tidak ada itikad baik, niscaya akan muncul rasa saling curiga, dan berakibat pada berkurangnya tingkat kepercayaan diantara kedua belah pihak.

4. Tolerance (tenggang rasa)
Negosiasi dapat juga dirumuskan sebagai upaya untuk mendamaikan dua kepentingan yang saling berkepentingan yang saling bertentangan (conflict of interest). Dalam hal ini, negosiasi akan berbentuk sebagai "proses tawar-menawar" atau "bergaining process" yang akan berjalan seru dan agu argumentasi yang menegangkan. Karena itu diperlukan sikap tenggang rasa, namun tetap tidak boleh mengorbankan "kepentingan pokok", yakni subjek perundingan itu sendiri.

5. Mutual Benefit (keuntungan bersama)
Setiap perundingan yang baik tentu akan menghasilkan suatu rumusan hasil kesepakatan atau perjanjian yang menguntungkan dan membawa manfaat bagi kedua belah pihak. Jika salah satu pihak memaksakan kehendaknya untuk mendapatkan keuntungannya bagi pihaknya sendiri, bisa dipastikan negosiasi itu akan gagal.

Menurut Thomas Kilman ada lima tipe atau pola dalam menghadapi konflik, yaitu:
1. Competiting (asertif-nonkoperaktif)
Individu memaksakan pemenuhan kepuasan dirinya pada orang lain. Orientasinya adalah kekuatan. Orang akan menggunakan segala bentuk kekuatan yang dimiliki (finansial, kedudukan, dan sebagainya) untuk menekan pihak lain yang dianggap sumber konflik. Sasarannya adalah "I'm NOT OK - you're OK".

2. Accomodating (nonasertif-kooperatif)
Individu akan mengalah pada kepentingan pihak lain. Orang akan patuh pada apa yang dikenakan atas dirinya, sekalipun hal itu tidak mengenakannya. Sasarannya: "I'm NOT OK - you're OK".

3. Collaborating (asertif-kooperatif)
Individu mengupayakan kerja sama dengan pihak lain untuk mendapatkan satu pemecahan yang saling menguntungkan dan memuaskan kedua belah pihak. Individu akan berusaha menggali dan mengenali cara pandang pihak lain, mencari sumber-sumber mana yang dimiliki dan tidak dimiliki antar pihak, serta usaha mendekati permasalahan secara kreatif agar dicapai pemecahan yang saling menguntungkan. Sasarannya: "I'm OK - you're OK".

4. Avoiding (nonasertif-nonkooperatif)
Individu dengan pola ini akan cenderung menghindari, lari dari konflik ataupun jika sudah ada dihadapannya, dia akan lari dan berpaling menganggap seakan konflik itu tidak akan pernah ada. Sasarannya: "I'm NOT OK - you're NOT OK".

5. Compromising
Polo ini berada diantara asertif dan kooperatif. Individu akan mencari satu pemecahan yang dapat diterima semua pihak. Tipe ini tidak mencoba untuk memaksakan kehendaknya, namun juga tidak mau mengalah begitu saja. Dalam menerima konflik, ia tidak akan segera menghindari atau lari, namun juga tidak akan langsung mendekatinya secara mendalam. Tipe ini ada diantara keempat tipe di atas.

D. Penerapan Masing-masing Pola
Pola-pola perilaku yang diungkapkan Thomas Kilmann memiliki kekhususan terhadap situasi konflik tertentu. Berikut beberapa aplikasi situasi berdasarkan pola perilaku;

1. Competiting
    Perilaku ini cocok diterapkan pada situasi-situasi yang:
    a. Membutuhkan keputusan yang cepat dan vital misalnya: dalam keadaan gawat darurat, emergency.
    b. Keadaan penting yang membutuhkan implementasi yang tuntas misalnya penciutan anggaran,
        penegakan disiplin .
    c. Hal-hal yang berkenaan dengan kelangsungan hidup dan kesejahteraan orang banyak (organisasi)
    d. Melindungi diri terhadap orang lain yang memetik keuntungan dari perilaku mengalah.

2. Collabirating
    Perilaku ini cocok diterapkan pada situasi-situasi sebagai berikut:
    a. Untuk mendapat suatu pemecahan yang integratif, di mana beberapa kepentingan cukup "pantas"
        untuk dipertimbangkan dan dikompromikan.
    b. Sasarannya adalah untuk belajar, misalnya menguji asumsi-asumsi yang dibuat, mencoba
        memahami jalan pikiran pihak lain.
    c. Mendapatkan masukan dari orang lain yang punya pandangan berbeda dalam mendekati suatu
        masalah.
    d. Mendapatkan komitmen dari pihak lain.
    e. Membutuhkan hubungan interpersonal yang hangat dan intens.

3. Compromising
    Akan lebih bermanfaat jika diterapkan pada keadaan-keadaan:
    a. Di mana sasaran dipandang cukup penting, tapi tidak terlalu dibutuhkan asertivitas.
    b. Di mana kedua belah pihak dengan kekuatan berimbang terlibat dalam satu sasaran bersama,
        misalnya perundingan antara Serikat Pekerja dengan pihak manajemen perusahaan.
    c. Di mana tekanan waktu (time preassure) tidak terlalu ketat.
    d. Merupakan bantuan atau dukungan jika cara-cara collaborating tidak lagi dapat ditemukan.

4. Avoiding
    a. Di mana hal yang dipermasalahkan tidak terlalu penting, atau jika ada hal lain yang lebih penting
        mesti dihadapi
    b. Pada saat tidak lagi punya kesempatan untuk mendapatkan pemenuhan kepuasan diri, misalnya
        saja: tidak punya power, frustasi pada satu hal yang sulit diubah - apakah itu kebijakan perusahaan
        perilaku atasan, dan sebagainya.

5. Accomodating
    a. Jika benar-benar ada dalam posisi kalah dan salah, untuk kembali membangun citra diri, untuk
        belajar dari orang lain untuk menunjukan bahwa cukup memiliki sikap ksatria dan reasonable.
    b. Jika hal-hal tersebut merupakan kepentingan pihak lain, daripada kepentingan diri sendiri untuk
        memuaskan (services) pada pihak lain, niat baik untuk membina dan memelihara interpersonal
        yang lebih baik.
    c. Membangun social credit  untuk hal-hal kemudian yang lebih penting bagi diri sendiri (mundur
        untuk maju)
    d. Alat bantu bagi pengembangan manajemen untuk para bawahan: agar dapat eksperimen, dan
        belajar dari kesalahan mereka.

E. Mitra perunding kita, dinggap lawan ataukah kawan?
Biasanya, sebelum terjadi negosiasi di antara kedua belah pihak telah terjalin sebuah relasi dalam bentuk korespondensi ataupun pertemuan tatap muka. Hal itu wajar sebagai bagian dari langkah awal dalam setiap transaksi bisnis.

Dengan kerespondensi ini, pihak yang mengambil prakarsa (inisiatif) mengemukakan keinginan dan minat yang terkandung di dalam hatinya dengan cara yang akrab dan bersahabat namun tidak melupakan kepentingan bisnisnya yang utama, yaitu keuntungan bagi usaha dan perusahaannya.

Cara yang akrab dan bersahabat di satu pihak dan kepentingan bisnis di lain pihak merupakan inti dari suatu negosiasi bisnis yang berhasil. Dalam bernegosiasi bisnis atau perundingan dagang, lawan bicara atau mitra dagang yang kita hadapi, kiranya dapat disamakan dengan pasangan dalam olahraga catur. Di satu pihak, ia adalah kawan bermain yang harus kita hadapi dengan segala keramahan dan keakraban, dan sekaligus di lain pihak harus kita hadapi sebagai lawan yang tangguh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar